Jumlah Pengunjung

Selasa, 23 Oktober 2012

BAB I PENDAHULUAN IKTERUS


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan ibu hamil. Berbagai bentuk upaya pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktor-faktor memperlemah kondisi seorang ibu hamil perlu diprioritaskan seperti status gizi, anemia, dekatnya jarak kelahiran dan buruknya hygiene. Selain itu perlu dilakukan pula pembinaan kesehatan prenatal seperti perdarahan, hipertensi, infeksi, kelahiran preterm, asfiksia dan hipotermi (Prawirohadjo, 2006).
Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000 per kelahiran hidup, Malaysia 5, 5/1000 per kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran hidup, Vietnam 18/1000 per kelahiran hidup, dan Philipina 26/1000 per kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 26,9/2000 per kelahiran hidup (Depkes, 2007).
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin diatas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5.
Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar  bilirubin serum total > 5 mg/dL, RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik  pada hari ke-0, 3 dan 5, dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”,  maka salah satu tolak ukur adalah  menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2005 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah  satu  penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan  komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain  memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi             kualitas  hidup.
Sebagai akibat transisi dari fisiologi intrauterin ke ekstrauterin, semua neonatus mengalami peningkatan sementara bilirubin serum pada minggu ke-1 kehidupan, dan sekitar 50% bayi aterm menjadi tampak ikterik. Menurut definisi, ikterus adalah perubahan warna kulit dan sklera menjadi kuning akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia). Pada neonatus, ikterus dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Ikterus fisiologis tampak kira-kira 48 jam setelah kelahiran, dan biasanya menetap dalam 10-12 hari (Myles, 2009).
Ikterus fisiologis yang tampak setelah 2-3 hari bayi baru lahir. Ikterus ini memiliki sejumlah penyebab patologis, meliputi peningkatan hemolisis, gangguan metabolik dan endokrin, serta infeksi. Ikterus patologis adalah ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama bayi baru lahir. Peran bidan adalah mendeteksi dan membedakan antara ikterus fisiologis dan patologis berdasarkan waktunya, penampilan klinis dan perilaku neonatus, serta menentukan penatalaksanaan yang tepat (Myles, 2009).
Perubahan fisiologis atau psikologis pada ibu nifas yang terjadi selama kurang lebih 5 hari pertama, sangat berpengaruh penting pada bayi. Terutama bayi sangat rentan terhadap perubahan organ-organnya, karena ikterus fisiologis terjadi pada 2-3 hari baru lahir. Ibu nifas harus memperhatikan perubahan-perubahan pada bayi, dengan warna kuning pada bayi, malas menyusu, dan dengan BAK > dari 6 kali, merupakan tanda-tanda ikterus fisiologis.
Penanganan ikterus fisiologis sangat mudah dan tidak perlu membutuhkan biaya. Ibu nifas perlu memberikan ASI secara on demand, dan bayi dijemur pada pagi hari antara jam 8-9. Apabila perubahan dan penanganan tidak disadari oleh ibu nifas bisa berakibat menjadi komplikasi yang serius, yaitu kern ikterus dan ikterus berkepanjangan.
Pada data yang saya dapat dari BPS Ny. Wahyu Rahmawati, pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis masih kurang. Dilengkapi dengan beberapa 6 pertanyan yang terdiri dari penyebab 2 soal, tanda dan gejala 2 soal, komplikasi 2 soal dan perubahan fisik 2 soal, saya berikan kepada 4 orang ibu nifas dengan wawancara. Didapatkan hasil bahwa ibu nifas hanya mengetahui sebatas warna kuning yang biasaya perubahan warna yang wajar, untuk soal dari penyebab, perubahan fisik, komplikasi dan tanda gejala masih belum mengetahuinya. Dari bulan Januari sampai Desember, tercatat 74 orang ibu nifas dan angka kejadian ikterus fisiologis 30  (40,5%) bayi dengan paritas yang berbeda dalam jangka waktu kejadian  pada hari 2-3 setelah bayi lahir, dan menghilang setelah 5-7 hari bayi baru lahir.
Pada dasarnya di Desa Duren masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang ikterus atau kuning pada bayi, dengan latar belakang pendidikan, kurang responnya terhadap perubahan bayi yang sering masih diangap wajar, sosial budaya ekonomi dan jauhnya tempat dari Puskesmas maupun RS, dan hanya ada satu Bidan Desa.  Oleh karena itu, saya ingin mengambil kejadian  ini sebagai gambaran pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.


B.   Rumusan Malasah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mendapatkan data yang merupakan identifikasi masalah, yaitu “Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Tengaran”.
 C.   Tujuan
1.      Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang”
2.      Tujuan Khusus
a.    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis.
b.    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang penyebab ikterus fisiologis.
c.    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang tanda dan gejala ikterus fisiologis.
d.    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang perubahan fisik terjadi pada ikterus fisiologis.
e.    Mengetahui gambaran pengetahuan ibu nifas tentang komplikasi yang mungkin timbul akibat ikterus.
  D.   Manfaat Penelitian
1.    Bagi Peneliti
Dapat menambah  gambaran pengetahuan  ibu nifas tentang ikterus fisiologi di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa Duren, Kecamatan Tengaran,  Kabupaten Semarang.
2.    Bagi Institusi
Menambahkan referensi bagi perpustakaan tentang gambaran  pengetahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
3.    Bagi Lahan
Dapat meningkatkan pelayanan dalam mengatasi pengatahuan ibu nifas tentang ikterus fisiologis di BPS Ny. Wahyu Rahmawati, Desa Duren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.



1 komentar: